Senin, 29 Juli 2013
JURNAL SENI BUDAYA KLATEN
BULAN BUJUR SANGKAR
seperti waktu yang berputar tiada henti , terus berjalan kesatu arah yang semakin menjauh
tanpa lelah perjalanan walau keringat membasahi seluruh tubuh yang semakin kering
setetes air membasahi pinggiran mulut yang mengering dan semakin kering bak batu digurun
angin tak lagi bersahabat yang menari-nari menghempas dedaunan hijau diatas bumi makin panas
hujan kini semakin deras seperti putaran bumi tanpa arah yang pasti
hidup terasa semakin sepi, tak ada lagi kebangkitan nurani untuk mempercayai alam semesta
bukan,.........bukan aku membisu karena alam sudah tak lagi bersahabat
tetapi biarkanlah semua berlalu tanpa harus dicatat dalam buku memori setebal sepuluh senti
tulang belulang serasa remuk, darah terasa semakin beku wajah pucat seperti mati
siang kini tidak lagi terang benderang menaungi jagad karena sang surya pucat pasi
gelora didada semakin menyesakkan nafas yang terbebani berjuta-juta virus dan bakteri
perjalanan terasa semakin panjang tak terukur dengan ilmu pasti
bukan dendam bukan benci bukan dengki bukan iri bukan pasrah bukan ingin tapi asa tapi harapan tapi angan tapi khayalan tapi bayangan tapi ya tapi akan tetapi
wajah kusut pucat pasi pasrah kepada rintihan bumi pertiwi yang tersendat nafas sucinya
terkadang masih mampu untuk tegak berdiri dan berlari mengejar mimpi yang tak pasti
serenada seakan membisikan kata cinta yang tak lagi kudengar dari langit dan bumi
sejuta keresahan semilyar kebencian bertumpuk seperti gunung yang memuntahkan lava pijar
merah merona memenuhi pinggiran punggung yang hijau nan asri
malam semakin dingin,
malam semakin gelap
malam semakin larut,
malam semakin sendirian tanpa kawan
tak ada lagi suara jangkrik karena sudah tertidur pulas
tak ada lago nyanyian kodok karena bersembunyi dikegelapan
tak ada lagi suara tonggeret memecahkan sunyi mlam
karena tak lagi bersinar
karena tak lagi menerangi gelap malam
karena tak lagi bulat
karena bulan bujur sangkar
gergunung , satya w suryaagust
seperti waktu yang berputar tiada henti , terus berjalan kesatu arah yang semakin menjauh
tanpa lelah perjalanan walau keringat membasahi seluruh tubuh yang semakin kering
setetes air membasahi pinggiran mulut yang mengering dan semakin kering bak batu digurun
angin tak lagi bersahabat yang menari-nari menghempas dedaunan hijau diatas bumi makin panas
hujan kini semakin deras seperti putaran bumi tanpa arah yang pasti
hidup terasa semakin sepi, tak ada lagi kebangkitan nurani untuk mempercayai alam semesta
bukan,.........bukan aku membisu karena alam sudah tak lagi bersahabat
tetapi biarkanlah semua berlalu tanpa harus dicatat dalam buku memori setebal sepuluh senti
tulang belulang serasa remuk, darah terasa semakin beku wajah pucat seperti mati
siang kini tidak lagi terang benderang menaungi jagad karena sang surya pucat pasi
gelora didada semakin menyesakkan nafas yang terbebani berjuta-juta virus dan bakteri
perjalanan terasa semakin panjang tak terukur dengan ilmu pasti
bukan dendam bukan benci bukan dengki bukan iri bukan pasrah bukan ingin tapi asa tapi harapan tapi angan tapi khayalan tapi bayangan tapi ya tapi akan tetapi
wajah kusut pucat pasi pasrah kepada rintihan bumi pertiwi yang tersendat nafas sucinya
terkadang masih mampu untuk tegak berdiri dan berlari mengejar mimpi yang tak pasti
serenada seakan membisikan kata cinta yang tak lagi kudengar dari langit dan bumi
sejuta keresahan semilyar kebencian bertumpuk seperti gunung yang memuntahkan lava pijar
merah merona memenuhi pinggiran punggung yang hijau nan asri
malam semakin dingin,
malam semakin gelap
malam semakin larut,
malam semakin sendirian tanpa kawan
tak ada lagi suara jangkrik karena sudah tertidur pulas
tak ada lago nyanyian kodok karena bersembunyi dikegelapan
tak ada lagi suara tonggeret memecahkan sunyi mlam
karena tak lagi bersinar
karena tak lagi menerangi gelap malam
karena tak lagi bulat
karena bulan bujur sangkar
gergunung , satya w suryaagust
Langganan:
Postingan (Atom)